Pajak dalam Perhelatan Pemilu
Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review Volume XIV/Edisi 07/2023
Iklim politik di negeri ini kian menghangat. Tiga pasangan bakal calon presiden dan
wakil presiden telah mendaftarkan diri kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan
Anies Rasyid Baswedan - Abdul Muhaimin
Iskandar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KIP), Ganjar Pranowo - Mohammad
Mahfud Mahmodin dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIRR), dan Prabowo
Subianto Djojohadikusumo - Gibran Rakabuming Raka dari Koalisi Indonesia Maju
(KIM).
Pemilihan
anggota legislatif (Pileg), presiden dan wakil presiden (Pilpres) Republik
Indonesia masa jabatan 2024 – 2029 dijadwalkan digelar pada 14 Februari 2024.
Sedangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk menentukan 33 Gubernur, 514 Bupati/Wakil
Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota kota akan diselenggarakan serentak di
seluruh Indonesia pada tanggal 27 November 2024.
Anggaran Pemilu
Pendanaan kegiatan Pileg dan Pilpres ditanggung
sepenuhnya oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan
pendanaan Pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagaimana kita ketahui, 80% pendapatan negara
pada APBN berasal dari pajak. Sisanya dikumpulkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) dan hibah. Pendapatan pajak dalam struktur APBN terdiri dari Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk dan Keluar, Cukai,
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pajak lainnya.
Pendapatan daerah pada APBD berasal dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD), pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat atau daerah otonom
lain, serta pendapatan lain seperti bagi hasil provisi dan Dana Desa. Penopang
utama PAD adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pada tanggal 6 Juni 2022 DPR RI dan KPU telah menyepakati
anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp102,8 triliun, dimana Rp76,6 triliun ditanggung
oleh APBN dan sisanya sebesar Rp26,2 triliun dari APBD. Mengingat besaran anggaran
pesta demokrasi yang cukup fantastis, dan sebagai bentuk pertanggungjawaban
kepada rakyat yang telah membayar pajak, maka akuntabilitas pemanfaatan
anggaran pemilu harus menjadi prioritas utama.
Sesuai
kewenangannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit Laporan Keuangan
KPU setiap tahun. Opini terhadap kewajaran Laporan Keuangan diberikan atas realisasi
anggaran, operasional, dan perubahan ekuitas sesuai Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP). Di sisi lain, BPK juga melakukan audit sistem pengendalian
intern dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Dana Kampanye
Dalam rangka menjamin
persaingan yang sehat dan menghindari tindakan pencucian uang,
pendanaan kampanye pemilu diatur melalui Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye. Sebagai
bentuk pertanggungjawaban, kontestan wajib melaporkan dana kampanye dalam 3
format yaitu: Laporan Awal Dana
Kampanye (LADK), Laporan Pemberi Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan
Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Laporan Dana Kampanye
tersebut akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh KPU.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2021 tentang
Pemilu (UU Pemilu) mengatur besaran sumbangan yang boleh diterima dalam rangka
kampanye. Sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak boleh lebih dari Rp
2,5 miliar. Sedangkan dana dari non perseorangan (kelompok, perusahaan,
dan/atau badan usaha non pemerintah) tidak boleh lebih Rp 25 miliar.
Penyumbang wajib menyampaikan identitas lengkap
berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat keterangan tidak
memiliki tunggakan pajak, serta tidak dalam keadaan pailit berdasarkan putusan
pengadilan.
Sanksi pelanggaran
besaran sumbangan kampanye juga diatur pada ketentuan tersebut. Setiap orang, kelompok,
perusahaan/badan usaha non Pemerintah yang memberikan dana kampanye pemilu
melebihi batas yang ditentukan diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, dan
denda maksimal Rp 500 juta. Selanjutnya, peserta Pemilu yang menggunakan
kelebihan sumbangan, atau tidak
melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU/tidak
menyerahkan kelebihan sumbangan ke kas negara maksimal 14 hari setelah kampanye
Pemilu berakhir, diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, dan denda maksimal
Rp500 juta.
Aspek Pajak Belanja Pemilu
a.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Terdapat objek PPN terkait belanja Pemilu, yaitu
pembelian Barang Kena Pajak (BKP) seperti pengadaan logistik berupa kertas,
tinta, alat peraga, kaos, bendera, baliho dan berbagai atribut lainnya. PPN
juga dikenakan atas penggantian Jasa Kena Pajak (JKP) seperti jasa konsultasi,
sewa kendaraan, jasa teknologi informasi, jasa iklan, jasa kebersihan, dll.
Tarif PPN sesuai UU No. 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah sebesar 11% dari Dasar Pengenaan Pajak
yang berupa harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai
lain.
Pajak Penghasilan (PPh)
Porsi terbesar pemanfaatan dana pemilu adalah
gaji dan honorarium pegawai lembaga penyelenggara Pemilu dan petugas Badan
Adhoc Pemilu. Penyelenggara Pemilu adalah KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),
dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sedangkan Badan Adhoc Pemilu,
terdiri dari Panitia Pemiilhan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS),
Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS), dan Petugas Pemutakhiran Data
Pemilih (Pantarlih). KPU juga membayarkan premi asuransi apalagi para petugas
tersebut mengalami resiko pada saat melaksanakan tugas.
Pemotongan PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan
dan anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota serta uang honorarium
bagi anggota kepanitiaan yang berstatus sebagai Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 sebesar 0%-15%,
tergantung golongannya.
Sedangkan PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan
dan anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang berstatus bukan
sebagai Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, dan
Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 yang dihitung sesuai tarif Pasal 17 UU PPh
dari Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang
disetahunkan sebagaimana cara penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai
tetap.
Apabila penghasilan tersebut diterima oleh anggota kepanitiaan sehubungan
dengan Pemilu atau Pilkada yang berstatus bukan sebagai Pejabat Negara,Pegawai
Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21
yang dihitung sesuai tarif Pasal 17 UU PPh dari penghasilan bruto.
b.
PPh Pasal 23/26 dan Pasal 4 (2)
Penyelenggara
Pemilu membutuhkan berbagai jasa penunjang operasional seperti sewa kendaraan,
jasa iklan, jasa teknologi informasi, jasa percetakan, jasa konsultasi, jasa
transportasi, dll. Penggantian jasa tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 dengan
tarif sebesar 2% apabila penerima penghasilan memiliki NPWP. Jika tidak, maka
dikenakan tarif 100% lebih tinggi, sehingga tarif non-NPWP sebesar 4%.
Apabila penerima
penghasilan adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka terutang PPh Pasal 26 dengan
tarif sebesar 20%, atau menyesuaikan dengan tarif pada Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B).
Untuk melakukan konsolidasi dan promosi, kadang kontestan Pemilu menyewa kantor atau booth. Terkait sewa tanah dan/atau bangunan tersebut terutang PPh Pasal 4(2) yang bersifat final dengan tarif sebesar 10% dari harga sewa. Penerimaan PPN, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23/26, dan PPh pasal 4 (2) tahun 2024 diprediksi tumbuh signifikan seiring meningkatnya belanja Pemilu tersebut.
Penutup
Kita berharap agar Pileg, Pilpres, dan Pilkada di
tahun depan berlangsung dengan lancar, aman, dan tertib. Semoga terpilih anggota
legislatif dan eksekutif yang jujur, adil, amanah, dan membawa kesejahteraan
untuk seluruh rakyat Indonesia. Uang pajak yang dibayar oleh rakyat untuk
menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini, semoga tidak sia-sia.
Comments
Post a Comment