Tulisan ini telah dimuat pada https://www.pajak.go.id/id/artikel/pajak-pigouvian-pada-uu-hpp
Istilah
Pajak Pigouvian berasal dari nama ekonom Inggris yaitu Arthur C. Pigou. Ia
menyatakan pendapat tentang perlunya pengenaan pajak terhadap transaksi
pasar yang menimbulkan eksternalitas negatif (biaya tambahan), yaitu biaya yang
ditanggung oleh individu yang tidak terlibat langsung dalam transaksi tersebut.
Contohnya adalah pajak tembakau, gula, dan karbon.
Terkait
emisi karbon, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016
tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention
on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Pertemuan ini digelar di Paris,
Perancis pada 12 Desember 2015 dan dihadiri oleh 196 perwakilan negara dan
teritorial.
Berdasarkan
konvensi tersebut, mulai tahun 2020 masing-masing negara diharuskan untuk
menjabarkan aksi yang telah dan akan dilakukan untuk ketahanan iklim pada
dokumen bernama Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen NDC tersebut
harus diserahkan kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
UNFCCC
juga menetapkan enam jenis gas rumah kaca yang dihasilkan oleh tindakan manusia
yaitu Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitro Oksida (N2O),
Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulfur
hexafluoride (SF6).
Dalam
rangka memenuhi target NDC, pemerintah Indonesia berupaya untuk memaksa para
pihak agar secara bertahap mengalihkan sumber energi berbahan fosil kepada
energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan
mengenakan pungutan atas emisi karbon. Terdapat dua skema pungutan untuk
menekan emisi karbon, yaitu Cap and Trade dan Cap and
Tax.
Cap and Trade
Skema
ini juga dikenal dengan istilah Emmision Trading Scheme (ETS)
yaitu perusahaan mendapatkan kuota karbon dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan pemerintah. Apabila perusahaan tersebut menghasilkan karbon melebihi
kuota, maka mereka diharuskan membeli kekurangannya kepada perusahaan lain yang
masih memiliki kuota. Harga kuota akan berfluktuasi menyesuaikan dengan
harga pasar yang terbentuk berdasarkan penawaran dan permintaan.
Contohnya,
tahun ini perusahaan mendapatkan kuota karbon sebesar 100 ribu ton, sedangkan
karbon yang dihasilkan sebesar 130 ribu ton. Atas kekurangan sebesar 30
ribu ton, perusahaan harus membeli kepada perusahaan lain yang masih memiliki
kuota.
PT
Pembangkitan Jawa Bali UP Paiton merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
pertama di Indonesia yang melakukan skema ini. Perusahaan milik PLN itu
melakukan offset karbon dengan membeli kredit karbon yang
dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi. Langkah tersebut
diikuti oleh beberapa perusahaan pembangkit lain milik PLN yang membeli kredit
karbon ke PLTU seperti PLTU Tanjung Jati, PLTU Awar-awar, PLTU Indramayu, PLTU
Rembang, dll.
Pada
level internasional, sejak tahun 2010 PLN telah melakukan transaksi penjualan
kredit karbon yang dihasilkan oleh beberapa pembangkit seperti Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Gas (PLTMG),
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). PLN menjalin kerja sama dengan
beberapa entitas luar negeri yang memfasilitasi para perusahaan di dunia yang
ingin melakukan penjualan dan pembelian kredit karbon. Beberapa diantaranya
adalah Agrinergy Pte.Ltd (Singapura), Ecosecurities (Swiss), Japan Carbon Fund
(Jepang), dll.
Cap and Tax
Skema
ini biasa disebut dengan pajak karbon. Pemerintah menetapkan ambang batas (cap)
atas produksi karbon. Jika perusahaan memproduksi karbon melebihi ambang batas
maka dikenakan penalti berupa pajak. Contohnya, tahun ini perusahaan
memproduksi karbon sejumlah 510 ribu ton, sedangkan ambang batas yang
ditetapkan sebesar 500 ribu ton. Maka atas kelebihan sejumlah 10 ribu ton
tersebut dikenakan pajak dengan tarif tertentu, misalnya Rp3.000 per ton.
Sehingga pajak karbon terutang tahun ini sebesar 10.000 x Rp3.000,00 =
Rp30.000.000,00.
Pasal
13 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang belum lama ini
disahkan oleh DPR, mengatur tentang pajak karbon. Pajak karbon dikenakan
terhadap orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon
dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon yang memberikan
dampak negatif kepada lingkungan hidup.
Kriteria
dampak negatif tersebut antara lain mengakibatkan penyusutan sumber daya alam,
pencemaran lingkungan hidup, dan kerusakan lingkungan hidup. Emisi karbon yang
dimaksud pada UU HPP adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e), yang antara
lain terdiri dari senyawa karbondioksida (CO2), dinitro oksida (NsO), dan
metana (CH4).
Pengenaan
pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan road map pajak
karbon dan pasar karbon. Road map pajak karbon ditetapkan
pemerintah dengan persetujuan DPR yang memuat strategi penurunan emisi
karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru
dan terbarukan, serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
Pajak
karbon diterapkan secara bertahap. Pada tahun 2021 dilakukan pengembangan
mekanisme perdagangan karbon dengan melaksanakan uji coba (piloting)
perdagangan karbon di sektor pembangkit. Selanjutnya, tahun 2022-2025
diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi untuk sektor
pembangkit listrik terbatas pada PLTU batubara. Sedangkan tahun 2025 dan
seterusnya, implementasi perdaganan karbon secara penuh dan perluasan sektor
pemajakan dengan penahapan sesuai sektor terkait.
Penetapan
cap emisi karbon ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM). Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga
karbon di pasar karbon per kilogram CO2e atau satuan yang setara. Dalam hal
harga karbon di pasar karbon tersebut lebih rendah dari Rp30,00 per
kilogram CO2e, atau satuan yang setara, maka tarif pajak karbon ditetapkan
sebesar paling rendah Rp30,00 per CO2e atau satuan yang setara. Yang
dimaksud “setara” adalah satuan konversi CO2e ke satuan massa atau satuan
volume.
Penerimaan
negara dari pajak karbon ini dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan
iklim. Wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon,
pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain sesuai perundang-undangan
lingkungan hidup dapat diberikan pengurangan pajak karbon dan/atau perlakukan
lain atas pemenuhan kewajiban pajak karbon tersebut.
Jenis
pajak “baru” ini tentu masih menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Perusahaan tetap bisa berproduksi maksimal asal mampu membayar penalti pajak
atas kelebihan emisi karbonnya. Pajak karbon ini akan dibebankan kepada
konsumen dan tentu saja akan menaikkan harga.
Sebaliknya,
jika perusahaan menahan produksi pada ambang batas maksimal demi menghindari
pajak karbon, maka persediaan di pasar akan berkurang. Jika permintaan
tetap maka berkurangnya persediaan secara alami juga akan menaikkan harga
produk. Pada tingkat internasional, produk suatu negara yang telah menerapkan
pajak karbon akan menjadi lebih mahal dibandingkan negara yang belum
menerapkannya. Disparitas harga menjadi isu yang cukup penting.
Di
sisi lain, kenaikan harga ini diharapkan dapat memaksa pengusaha yang
memanfaatkan energi fosil beralih ke green energy, yaitu
sumber daya alam yang terbarukan seperti angin, matahari, arus air, proses
biologi, atau panas bumi. Apabila belum bisa beralih ke energi
terbarukan, perusahaan dapat mengganti mesin produksi yang hemat energi atau
memodifikasi proses produksi agar emisi karbon dapat ditekan seminimal mungkin.
Comments
Post a Comment