Skip to main content

Tarif Pajak Batal Turun?

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Ekonomi Neraca, 10 Juli 2019

https://www.neraca.co.id/article/118919/tarif-pajak-batal-turun



Wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang sempat diperbincangkan khalayak ramai sepertinya belum akan terlaksana tahun ini. Tarif PPh Badan yang semula direncanakan turun dari 25% menjadi 20% masih menemui kendala terutama dari sisi payung hukum.
Berdasarkan informasi pada laman www.dpr.go.id, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2019 sebenarnya telah mengagendakan pembahasan penurunan tarif pajak tersebut. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)  telah diajukan oleh pemerintah dan dicantumkan pada nomor urut 20. Akan tetapi pada acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman tentang Penguatan dan Pemanfaatan Basis Data Pemilik Manfaat (Beneficial Ownership) dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Korporasi oleh 6 (enam) kementerian di Hotel Sultan, Jakarta (3/7/2019), Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyatakan bahwa waktu yang tersisa hingga akhir tahun tak cukup untuk menyelesaikan pembahasan RUU tersebut, sehingga penurunan tarif PPh badan tersebut sepertinya belum dapat terealisasi di tahun ini.
Kembali ke masalah tarif PPh badan, beberapa negara di dunia telah melakukan penurunan tarif pajaknya. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis data yang membandingkan tarif pajak negara-negara di dunia tahun 2017-2018. Data statistik tersebut mencantumkan corporate income tax rate (tarif PPh badan) dari 95 negara  baik yang bergabung dalam OECD maupun tidak. Sejumlah 5 negara diantaranya menaikkan tarif pajak antara 0,4%-5% (India, Portugal, Turki, Korea, Latvia). Sebaliknya, 10 negara menurunkankan tarif pajak sebesar 0,2%-14% yaitu Jepang, Norwegia, Israel, Luxemburg, Senegal, Saint Vincent & Grenadine, Belgia, Argentina, Perancis dan Amerika Serikat. Sedangkan tarif pajak badan di 80 negara lainnya tetap.
Penurunan tarif pajak korporasi terbesar dilakukan oleh  Amerika Serikat dengan memangkas tarif pajak secara ektrim dari 35% menjadi 21% di bulan Desember 2017 melalui program Tax Cuts and Jobs Act. Ternyata tren penurunan tarif  ini tidak hanya terjadi di tahun 2018 saja, tapi merupakan tren dari tahun-tahun sebelumnya. OECD melakukan penelitian yang menyatakan bahwa tarif pajak global menunjukkan tren menurun selama dua puluh tahun terakhir.
Rencana penurunan tarif PPh badan adalah salah satu langkah pemerintah dalam rangka stabilisasi ekonomi makro melalui kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini tertuang dalam paket kebijakan ekonomi untuk mengatasi perlambatan ekonomi akibat pelemahan ekonomi global, memperkuat data saing dan perbaikan struktur ekonomi nasional.  Penurunan tarif pajak diharapkan dapat menggerakkan sektor riil, karena bisa menekan biaya operasional sehingga produsen dalam negeri mampu memproduksi barang/jasa dengan kualitas dan harga yang lebih murah. Selain itu, tarif pajak yang kompetitif diharapkan dapat menarik lebih banyak investor ke dalam negeri, dan selanjutnya diharapkan dapat mendongkrak tax ratio (rasio pajak). Rasio ini menyatakan jumlah pajak yang dikumpulkan pada suatu masa berbanding dengan pendapatan nasional di masa yang sama. Rasio pajak merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak.
Gagasan penurunan tarif pajak ini perlu dicermati dan dikaji dengan seksama. Di kawasan ASEAN, tarif pajak di negara kita relatif tinggi. Tarif tertinggi dimiliki oleh Filipina (30%), disusul Indonesia dan Myanmar (25%), Malaysia dan Laos (24%), Thailand, Vietnam dan Kamboja (20%), sedangkan tarif terendah dipegang oleh Singapura (17%).
Dampak jangka pendek dari penurunan tarif ini perlu diperhitungkan dengan matang, karena sangat mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan. Apalagi target penerimaan pajak belum pernah tercapai sejak 10 tahun terakhir. Penurunan tarif dalam kondisi perekonomian saat ini, tentu semakin mempersulit pencapaian target penerimaan pajak tahun ini, yang berdampak langsung pada pembiayaan pembangunan. Sedangkan dampak lanjutan yang diharapkan adalah kenaikan laba korporasi sehingga meningkatkan tax ratio secara keseluruhan.
Negara kita pernah menurunkan tarif PPh Badan yang semula 30% menjadi 28% di tahun 2008, kemudian diturunkan kembali dari 28% menjadi 25% di tahun 2010, dan  ternyata kebijakan itu tidak mampu mendongkrak tax ratio secara signifikan pada tahun-tahun setelahnya. Data yang bersumber dari  Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menyatakan bahwa rasio pajak tahun 2008 justru turun dari 13,92% (tahun 2007) menjadi 13,3% (tahun 2008). Sedangkan rasio pajak pada tahun 2010 adalah 12.9%, lebih tinggi dari tahun 2009 yang sebesar 12,1%.
Berdasarkan data tax revenue (% of GDP) yang bersumber dari World Bank, penurunan tarif pajak yang berakibat penurunan tax ratio  terjadi di negara tetangga kita Thailand. Negeri Gajah Putih ini telah menurunkan tarif pajak dari 30% menjadi 23 % di tahun 2012 yang mengakibatkan penurunan tax ratio yang semula 16.36% menjadi 15.44%Demikian juga Rusia yang menurunkan tarif pajak di tahun 2009 dari 24% menjadi 20%, mengakibatkan anjloknya tax ratio dari 15.81% menjadi 12.95%. Lain halnya dengan China, mereka berhasil mendongkrak tax ratio dari 9.9% ke 10.3% melalui penurunan pajak yang semula 33% menjadi 25% di tahun 2008.
 Penurunan tarif pajak sebaiknya diimbangi dengan paket kebijakan lain, misalnya pembenahan infrakstuktur dalam rangka perbaikan basis data wajib pajak, evaluasi tax allowance (pengurangan pajak  penghasilan untuk bidang usaha/daerah tertentu) dan tax holiday (pengurangan atau penghilangan pajak secara sementara) agar lebih tepat sasaran, serta  perbaikan struktur penghasilan kena pajak untuk melindungi dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat ekonomi lemah.
Selain itu kesuksesan agenda lain dalam kebijakan ekonomi pemerintah sangat mempengaruhi tindak lanjut program penurunan pajak korporasi ini. Tidak mudah mengambil keputusan dalam suasana perlambatan ekonomi global. Ibarat seseorang yang sedang sakit komplikasi dan harus minum obat, maka resep yang dibuat harus tepat jenis maupun dosisnya, benar cara dan saat minum obatnya, supaya lebih cepat sembuh dan terhindar dari efek samping yang merugikan.
Mari kita kita tunggu para pemangku kepentingan menimbang dengan matang dampak kebijakan ini.  Apapun yang diputuskan oleh pemerintah dan wakil kita di Dewan Perwakilan Rakyat, semoga dapat meningkatkan kesejahteraan dan membawa kebaikan untuk negeri ini. 

 (pendapat pribadi penulis, tidak terkait dengan instansi)

Comments

Popular posts from this blog

Aspek Perpajakan Kerja Sama Operasi (KSO)

Joint operation (JO) atau Operasi Bersama adalah bentuk kerjasama untuk menyelesaikan proyek bersama dengan dua perusahaan atau lebih. Bentuk kerja sama tersebut bersifat sementara hingga proyek selesai.  JO dapat dibagi menjadi 2 jenis: 1. JO Administratif; semua pekerjaan atas proyek yang dijalankan menjadi tanggung jawab dari entitas KSO, bukan masing-masing anggota.  Kegiatan administratif disepakati melalui  joint operation agreement  atau perjanjian KSO. 2. JO Non Administratif. kerja sama non administratif hanya berperan sebagai alat koordinasi saja. JO   jenis ini, pembukuannya dilakukan oleh masing-masing anggota. Berbeda halnya dengan jenis administratif yang pembukuannya dilakukan oleh   project owner. B entuk   joint operation  ini biasa disebut dengan konsorsium. PSAK 111 tentang Pengaturan Bersama, membagi pengendalian dalam 2 bentuk, yaitu  Operasi Bersama dan  Ventura Bersama. Operasi Bersama mengatur bahwa para pihak ya...

NPWP Suami Istri Baiknya Gabung atau Pisah?

Ketentuan perpajakan di Indonesia secara umum menganggap keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi, dimana penghasilan, biaya, harta maupun hutang semua anggota keluarga digabung menjadi satu. Pelaksanaan kewajiban perpajakan mereka disatukan dalam NPWP yang sama.  Suami sebagai kepala keluarga melaporkan penghasilannya pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, sedangkan penghasilan istri dari satu pemberi kerja hanya dilampirkan sebagai penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final. Meskipun demikian, istri dapat memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah, dan mengajukan untuk memiliki NPWP sendiri berstatus sebagai Wanita Kawin . Berikut 3 kondisi yang mengakibatkan Wanita Kawin memiliki NPWP terpisah: Hidup Berpisah (HB), adalah wanita menikah yang hidup terpisah atau bercerai dengan suaminya berdasarkan keputusan pengadilan.  Pisah Harta (PH), jika suami istri membuat perjanjian pisah harta di hadapan notaris. Memilih Terpisah (MT), wanita kawi...

Teori dan Konsep Dasar Pajak Penghasilan

Referensi bagi akademisi, praktisi, dan wajib pajak dalam memahami teori dan praktik Pajak Penghasilan di Indonesia. Penulis:  Andri Marfiana, S.E., M.B.A. Endah Sitarasmi, S.St., M.A. Agus Hidayat, S.E.,M.P.F.,Ph.D. Pemesanan Buku di tautan ini: bit.ly/BukuPPh