Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review, Volume XIII Edisi 3 Tahun 2022
Istilah
Tax Amnesty
(pengampunan pajak) adalah kesempatan bagi wajib pajak untuk mendapatkan
pengampunan atas kewajiban membayar pajak tanpa dikenakan sanksi administrasi
maupun pidana perpajakan. Kesempatan tersebut berbatas waktu dan wajib pajak
harus membayar pajak dengan nilai tertentu sebagai tebusan. Dimana, Kebijakan
ini bertujuan untuk mengembalikan aset yang terparkir di luar negeri,
memperluas basis data perpajakan, dan tentunya meningkatkan penerimaan negara.
Banyak
negara di berbagai belahan dunia yang telah melaksanakan kebijakan ini.
Beberapa diantaranya adalah Amerika Serikat, Swedia, Irlandia, Belgia,
Perancis, Jerman, Australia, Argentina, Kolombia, Ekuador, Honduras, Filipina
dll.
Sementara
ini, Pemerintah Indonesia telah 5 kali memberlakukan program pengampunan pajak,
dimulai dari masa pemerintahan Presiden Soekarno sampai dengan Presiden
Joko Widodo.
Tax
Amnesty di Masa Lalu
Tax
Amnesty (TA) pertama terjadi
pada tahun 1964 melalui Penetapan Presiden RI No.5 Tahun 1964 tentang Peraturan
Pengampunan Pajak. Tujuan pengampunan pajak saat itu adalah untuk mengembalikan
dana revolusi. Dana revolusi awalnya berasal dari setoran aset para raja
nusantara untuk membantu perjuangan kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka,
dana ini dihimpun kembali dengan cara memungut setoran sebesar 5% dari
keuntungan perusahaan negara dan perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan.
Sasaran
TA pertama kali saat itu adalah para wajib pajak pemilik modal yang belum
dikenai pajak perseroan, pajak pendapatan, dan pajak kekayaan. Tebusan yang
ditetapkan sebesar 10% dari jumlah modal yang belum dikenakan pajak. Jika
ternyata jumlah tebusan yang disetor lebih rendah dari yang seharusnya
terutang, maka kekurangan tersebut harus disetorkan, dan ditambah dengan sanksi
400% dari jumlah kurang disetor tersebut.
TA
pertama ini berlaku sejak tanggal 9 September 1964 sampai dengan 17 Agustus
1965, yang kemudian diperpanjang sampai 10 November 1965 karena jumlah dana
yang berhasil dikumpulkan masih jauh dari target yang diharapkan. Pasalnya
terdapat berbagai kendala seperi pemberontakan G 30/S PKI dan gejolak
perpecahan antar pemegang kekuasaan, sehingga dana yang terkumpul saat itu
hanya sejumlah Rp12 miliar.
TA
kedua terjadi di masa Presiden Suharto, yaitu pada tahun 1984. Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak menetapkan tarif tebusan
sebesar 1% dari nilai kekayaan bersih, untuk wajib pajak yang telah melaporkan
SPT Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984.
Sedangkan wajib pajak yang belum melaporkan SPT dikenakan tarif tebusan sebesar
10% dari nilai kekayaan bersih yang diungkapkan.
Populasi
wajib pajak yang memanfaatkan TA saat itu sejumlah 20% dari wajib pajak
terdaftar, dengan total tebusan sebesar Rp67,8 miliar atau sebesar 1% dari
total penerimaan negara.
Nah untuk TA ketiga ini dikemas dalam
bentuk Sunset Policy, yang menjadi bagian dari UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Apa itu sunset policy? Sunset
Policy adalah kebijakan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan
pelunasan kekurangan pembayaran pajak sehubungan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya serta
pembetulan SPT untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.
Program
ini berbeda dengan dua program TA sebelumnya. Pada Sunset Policy
tidak ada ketentuan tentang tebusan. Wajib pajak hanya diberikan pembebasan
sanksi administrasi atas pajak yang dibayar secara sukarela.
TA
keempat terjadi di tahun 2016 yang diatur pada UU No. 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak. Adapun Sasaran yang dituju adalah wajib pajak baik badan
maupun orang pribadi yang masih memiliki harta bersih yang belum dilaporkan,
baik di dalam maupun luar negeri.
Berdasarkan
Surat Pernyataan Harta (SPH), total harta yang dilaporkan para wajib pajak
mencapai Rp 4.855 triliun, terdiri dari deklarasi harta dalam negeri Rp3.676
triliun dan deklarasi harta luar negeri mencapai Rp1.031 triliun. Sementara
penarikan dana dari luar negeri (repatriasi) mencapai Rp 147 triliun.
Jumlah
tebusan yang dihimpun mencapai Rp114 triliun, pembayaran tunggakan Rp18,6
triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp1,75 triliun.
Saat
periode TA keempat berakhir, pemerintah memberlakukan program PAS Final,
(Pengungkapan Aset secara Sukarela dengan menggunakan tarif Final). PAS Final
memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk untuk menyampaikan harta yang belum
diungkap dalam Surat Pernyataan Harta (bagi peserta TA) maupun yang belum
dilaporkan dalam SPT setelah berakhirnya periode TA.
PAS
FINAL berlaku sejak disahkan dan tidak berbatas waktu, selama Ditjen Pajak
belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak sehubungan dengan
ditemukannya data aset yang belum diungkapkan.
Tarif
PAS Final ditetapkan sebesar 12,5% untuk WP dengan sumber penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak lebih dari 4,8 miliar
dan/atau karyawan dengan penghasilan tidak lebih dari 632 juta rupiah.
Sedangkan tarif untuk Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar 25% dan WP Badan
sebesar 30%.
TA
yang akan Datang
Tax
amnesty kini hadir
kembali. Ketentuan mengenai hal ini diatur pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan oleh DPR RI pada
tanggal 29 Oktober 2021.
Bertajuk
Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, program ini memberikan kesempatan
kepada Wajib Pajak untuk mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang
diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum
menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud. Dana yang terhimpun
dari TA ini diharapkan dapat mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional
yang terdampak pandemi Covid-19.
Pengungkapan
harta bersih ini berlaku cukup singkat, hanya selama 6 bulan. Wajib Pajak dapat
memanfaatkan TA mulai tanggal 1 Januari 2022 s.d 30 Juni 2022. Pemerintah
menetapkan dua 2 skema kebijakan pengungkapan harta bersih sebagai berikut:
Kebijakan
TA I
Skema
pertama, sasaran kebijakan skema TA I ini adalah Wajib Pajak Badan maupun Orang
Pribadi yang masih memiliki aset per tanggal 31 Desember 2015, yang belum
diungkapkan pada TA terdahulu.
Aset
bersih deklarasi luar negeri dikenakan PPh Final sebesar 11%. Sementara Tarif
8% dikenakan terhadap repatriasi aset dari luar negeri dan deklarasi dalam
negeri. Apabila repatriasi dan deklarasi dalam negeri tersebut diinvestasikan
dalam Surat Berharga Negara (SBN), hilirisasi sumber daya alam dan renewable
energy, maka dikenakan tarif terendah sebesar 6%.
Kebijakan
TA II
Kebijakan
TA II hanya dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Basis aset yang
dapat diungkapkan adalah harta yang diperoleh pada tahun 2016-2020 yang belum
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2020.
PPh
Final sebesar 18% adalah tebusan untuk deklarasi luar negeri. Tarif 14%
dikenakan terhadap aset repatriasi dari luar negeri dan deklarasi dalam negeri.
Sedangkan tarif 12% untuk repatriasi aset luar negeri dan deklarasi aset dalam
negeri yang diinvestasikan dalam SBN, hilirisasi sumber daya alam dan renewable
energy.
Pada
TA kali ini, Ditjen Pajak menentukan pedoman untuk menilai harta yang
diungkapkan wajib pajak. Harta berupa kas dan setara kas dinilai sebesar nilai
nominal, sedangkan tanah/bangunan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) digunakan untuk kendaraan bermotor, nilai
publikasi PT Aneka Tambang untuk emas/perak, nilai publikasi Bursa Efek
Indonesia (BEI) untuk saham dan warant, dan nilai publikasi PT Penilai
Harga Efek Indonesia (PHEI) untuk surat utang. Apabila tidak terdapat nilai yg
dapat dijadikan pedoman, maka nilai harta ditentukan berdasarkan hasil
penilaian jasa penilai publik.
Kita
tunggu peraturan turunan dari UU HPP yang menjadi petunjuk teknis pengungkapan
harta sukarela ini. Sehingga wajib pajak dapat segera mempersiapkan dokumen
yang diperlukan untuk memanfaatkan kesempatan baik ini.
Comments
Post a Comment