Land Improvement, Disusutkan atau tidak?
Pematangan tanah dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu pematangan tanah sehingga siap pakai sesuai tujuan, dan land improvement (perbaikan lahan).
Contoh pematangan tanah antara lain: pengurukan, perataan, pembongkaran bangunan lama. Pengeluaran ini menjadi bagian dari harga perolehan tanah. Selain harga beli, dan pematangan tanah, biaya-biaya lain terkait perolehan tanah yang dikapitalisasi ke tanah yaitu biaya pengurusan (notaris, pajak, BPHTB).
Berbeda dengan pembuatan struktur yang melekat pada tanah, seperti pembangunan jalan masuk, tempat parkir, pagar, sistem irigasi, dll, pengeluaran ini tidak digabung ke dalam harga perolehan tanah, namun dibuatkan akun tersendiri dengan nama land improvement.
PSAK 216 tentang Aset Tetap menyatakan bahwa pematangan/perbaikan lahan dikapitalisasi menjadi aktiva tetap jika memenuhi 2 kriteria, yaitu entitas kemungkinan besar memperoleh manfaat ekonomi di masa depan, dan biaya dapat diukur secara andal. Apabila kedua kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka biaya yang telah dikeluarkan tidak dapat dikapitalisasi.
Apakah tanah disusutkan?
PSAK 216 juga mengatur bahwa tanah tidak disusutkan, karena dianggap
memiliki masa manfaat yang tidak terbatas. Sedangkan land improvement memiliki
masa manfaat yang terbatas, sehingga nilainya akan menyusut seiring waktu.
Secara akuntansi, perusahaan dapat menentukan masa manfaat land improvement. Bisa 10 tahun, 15 tahun, tergantung kebijakan Perusahaan.
Secara fiskal, penyusutan terhadap land improvement tunduk kepada PMK-72/2023 tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
Pasal 2 ayat (3) mengatur bahwa bangunan
permanen disusutkan selama 20 tahun, dan hanya diperkenankan menggunakan metode
garis lurus (straight line method), sehingga penyusutan tiap tahun
sebesar 5%.
Pasal 6 ayat (2) mengatur lebih lanjut,
apabila bangunan permanen mempunyai masa manfaat melebihi 20 (dua puluh) tahun,
penyusutan sebagaimana dimaksud dilakukan dalam bagian yang sama besar dengan
masa manfaat 20 tahun; atau sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya
berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Apabila wajib pajak memilih untuk
menyusutkan sesuai masa manfaat yang sebenarnya, maka harus menyampaikan
pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Comments
Post a Comment