Fenomena SPT Lebih Bayar Pasca Penerapan PPh 21 TER
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang dibayarkan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan kegiatan.
PMK-168/2023 mengatur simplifikasi tarif pemotongan PPh 21 yang semula relatif kompleks dan variatif, menjadi tabel Tarif Efektif Rata-rata (TER). Skema ini memberikan kemudahan bagi pemberi kerja, sehingga mengurangi kejadian salah hitung. Pada sisi lain, karyawan dapat melakukan pengecekan kebenaran penghitungan pemotongan PPh 21 yang dipotong atas penghasilan yang diterimanya.
Beleid ini membedakan pegawai menjadi 3 jenis:
1. Pegawai Tetap, yaitu pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan teratur, termasuk anggota komisaris dan dewan pengawas yang bekerja berdasarkan kontrak untuk jangka waktu tertentu, sepanjang pegawai tersebut bekerja penuh dalam pekerjaan tersebut;
2. Pegawai Tidak Tetap, yaitu pegawai, termasuk tenaga kerja lepas, yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan;
3. Bukan Pegawai, yaitu orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai imbalan atas pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
TER dibagi dalam 3 kelompok, sbb:
- TER A: untuk status PTKP tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0), tidak kawin dengan satu tanggungan (TK/1) dan kawin tanpa tanggungan (K/0).
- TER B: untuk status PTKP TK/2 dan K/1 serta TK/3 dan K/2
- TER C: untuk status PTKP K/3
Tabel TER selengkapnya dapat diunduh pada laman www.pajak.go.id.
PPh 21 TER berlaku untuk masa pajak Januari s.d November. Penghitungan PPh 21 setahun tidak berubah, tetap mengacu pada pasal 17 ayat (1) UU PPh. Penghitungan setahun dilakukan pada masa Desember tahun berjalan.
Penerapan TER mengakibatkan lebih bayar setoran PPh Pasal 21 secara nasional sebesar Rp16,5 triliun pada Tahun Pajak 2024. Mengapa hal ini bisa terjadi?
a. Penghasilan pegawai tetap dibawah PTKP;
Kelebihan pemotongan PPh 21 dapat terjadi pada pegawai yang penghasilannya masih dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara bulanan, bisa jadi pegawai tersebut mendapatkan penghasilan diatas rata-rata penghasilan tetap bulanan, misalnya THR atau bonus, sehingga THR atau bonus tersebut dipotong PPh 21. Namun, apabila dijumlahkan setahun, penghasilan tersebut tidak melebihi PTKP sehingga tidak kena pajak.
b. Pegawai tetap mulai bekerja di dalam tahun berjalan atau berhenti bekerja di tahun berjalan;
Lebih bayar juga terjadi pada pegawai tetap yang berhenti bekerja pada suatu masa di tahun berjalan. PPh 21 yang telah dipotong dengan skema TER menjadi lebih besar dari PPh terutang setahun.
c. Fluktuasi penghasilan pegawai tetap.
TER dapat mengakibatkan lonjakan PPh 21 yang dipotong pada masa dimana pegawai menerima Tunjangan Hari Raya (THR), bonus, dan semacamnya, diluar penghasilan tetap bulanan. Hal ini terjadi pada pegawai yang penghasilannya berada di rentang tarif 5%. Pada akhirnya mengakibatkan kelebihan potong di akhir tahun. Sebaliknya, apabila penghasilan berada di rentang yang tinggi (25%-35%) maka akan terjadi kurang bayar yang besar di akhir tahun.
Apabila kelebihan potong tersebut terkait penghasilan pegawai tetap, perusahaan harus mengembalikan PPh 21 tersebut kepada pegawai beserta dengan pemberian bukti potong paling lambat akhir bulann berikutnya setelah masa pajak berakhir. Perusahaan dapat mengkompensasikan kelebihan tersebut dengan pegawai lain yang PPh 21 nya kurang dipotong.
Masalah timbul ketika penerima penghasilan merupakan pegawai tidak tetap atau bukan pegawai. Kelebihan pemotongan PPh 21 tidak dikembalikan kepada pegawai tidak tetap atau bukan pegawai. Kelebihan potong tersebut mengakibatkan status lebih bayar pada SPT, yang dapat dikompensasikan atau diminta kembali melalui mekanisme restitusi.
Fenomena SPT Lebih Bayar ini telah menjadi atensi pejabat yang berwenang. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa skema TER ini sedang dikaji ulang. “Kita sedang evaluasi,” ujarnya Kamis(9/10), sebagaimana dikutip dari Kontan.co.id.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
(ES,2025)
Dasar Hukum:
1. UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor PP 23/2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan sehubungan denagn Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan WP OP.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-168/2023 Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi.
Comments
Post a Comment