Tulisan ini telah dimuat pada portal www.pajak.go.id, Kamis, 10 November 2022
Dua
tahun sudah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 diterapkan. Dewan
Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebenarnya telah
mengesahkan standar akuntansi tentang Instrumen Keuangan ini sejak tanggal 26
Juli 2017. Namun entitas diwajibkan untuk menerapan secara efektif per 1 Januari 2020,
dengan penerapan dini diperkenankan.
Definisi Instrumen Keuangan
Definisi
Instrumen Keuangan dijelaskan pada PSAK 50 tentang Instrumen Keuangan:
Penyajian. Setiap kontrak yang menambah nilai aset, liabilitas, dan ekuitas
keuangan entitas termasuk dalam kategori instrumen keuangan.
Aset
keuangan terdiri dari kas, instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas lain, hak
kontraktual, dan kontrak yang akan diselesaikan dengan penerbitan instrumen
ekuitas. Hak kontraktual yang dimaksud disini adalah hak untuk menerima kas
atau aset keuangan dari pihak lain, atau pertukaran aset keuangan dengan
entitas lain yang berpotensi memperoleh keuntungan.
Liabilitas
keuangan dapat berupa kewajiban kontraktual, seperti kewajiban untuk
menyerahkan kas atau piutang kepada entitas lain, atau pertukaran
aset/liabilitas keuangan yang berpotensi tidak menguntungkan entitas. Selain
itu, kewajiban keuangan juga berbentuk kontrak yang akan diselesaikan dengan menggunakan
instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas, baik yang bersifat derivatif ataupun
non-derivatif.
Pada sisi ekuitas, instrumen ini
berupa kontrak yang
memberikan hak residual (sisa)
atas aset suatu entitas setelah dikurangi dengan
seluruh kewajibannya.
PSAK 55 menambahkan dua klasifikasi pada
definisi instrumen keuangan, yaitu instrumen derivatif dan lindung nilai.
Derivatif adalah kontrak atau perjanjian
yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan kinerja aset lain. Aset
lain ini disebut sebagai underlying
assets. Sedangkan hedging
(lindung nilai) adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi penurunan nilai
sebuah aset atau portofolio investasi.
Mengganti atau Merevisi?
PSAK
71 mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) 9 tentang Financial
Instruments. IFRS 9 disahkan pada
1 Januari 2016, menggantian International Accounting Standard (IAS) 39. Penggantian
standar ini muncul sebagai reaksi atas krisis keuangan global, karena bank
tiba-tiba harus mengakui kerugian yang tidak diprediksi sebelumnya. Laporan
Keuangan versi IAS 39 dianggap tidak
mampu menyajikan nilai aset, kewajiban, dan ekuitas yang sebenarnya.
PSAK 71 tidak menghapus PSAK tentang Instrumen
Keuangan yang sebelumnya, yaitu PSAK 50 tentang mengatur tentang penyajian,
PSAK 55 tentang pengakuan dan
pengukuran, serta PSAK 60 tentang pengungkapan. Beleid ini hanya merevisi
sebagian dari PSAK 55, yaitu perubahan klasifikasi dan pengukuran, penurunan nilai, serta
akuntansi lindung nilai. Hal-hal diluar itu tetap mengacu pada ketentuan
terdahulu.
Dampak terhadap Industri Perbankan
Salah
satu industri yang terdampak signifikan dari penerapan PSAK 71 ini adalah
perbankan. Nilai pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) menjadi
lebih besar dari sebelumnya, sehingga menggerus laba entitas. Hal ini disebabkan
oleh perubahan metode penilaian yang sebelumnya reaktif menjadi proaktif.
PSAK
55 mengatur pembentukan CKPN dengan metode incurred
loss (data kerugian yang telah terjadi) dan bersifat backward-looking (menggunakan data historis). Sebagai contoh, entitas
telah menghimpun data kerugian kredit konsumen selama 3 tahun terakhir,
ternyata kerugian yang dialami rata-rata sebesar 9%. Maka entitas akan
membentuk CKPN berdasarkan data historis tersebut, yaitu sebesar 9% dari jumlah
piutang.
PSAK 71 mengubah penentuan CKPN
menjadi expected loss dan forward looking.
Entitas melakukan estimasi risiko instrumen keuangan sejak awal piutang itu
diakui. Perkiraan risiko dibentuk dengan menggunakan informasi seperti proyeksi
pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, indeks harga komoditas, dll.
Ruang judgement atas CKPN ini menjadi
sangat luas, karena informasi yang digunakan sebagai dasar estimasi sangat
beragam.
Bagaimana CKPN di Mata Pajak?
Ditjen Pajak telah merespon
perubahan standar akuntansi keuangan ini. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur bahwa:
Pasal
9 ayat (1) huruf c:
“Untuk
menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
c.
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha
bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak
opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan
Otoritas Jasa Keuangan.”
Pasal
32 C huruf o:
“Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.”
Sampai
dengan tulisan ini dibuat, Peraturan Pemerintah (PP) terkait
pembentukan/pemupukan cadangan tersebut belum terbit. Oleh karena itu, panduan
penetapan CKPN masih menggunakan Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-81/PMK.03/2009
yang diubah dengan PMK-219/PMK.011/2012 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana
Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya. PMK ini tidak berlaku lagi
apabila PP turunan UU HPP membuat pengaturan yang berbeda dari PMK tersebut.
PMK-81/2009 menetapkan CKPN
Bank Umum maksimal sebesar; 1% dari piutang lancar, 5% dari piutang
dalam pengawasan khusus, 15% dari piutang kurang lancar, 50% dari piutang
diragukan, dan 100% dari piutang macet. Nilai Piutang terlebih dahulu dikurangi
dengan agunan yang diserahkan oleh nasabah kepada bank.
Potensi
Sengketa Pajak
Ketentuan perpajakan yang bersifat historical cost tidak akan pernah
bertemu dengan standar akuntansi baru yang sifatnya expected value. Otoritas pajak dapat menentukan pelaporan pajak
dengan mengikuti Standar Akuntansi Keuangan (SAK) atau memilih pengaturan yang
berbeda dari SAK.
Meskipun PSAK 71 telah diakomodir oleh UU HPP, standar
tersebut belum dapat diterapkan untuk kepentingan penghitungan pajak terutang.
Pengaturan batas CKPN masih menggunakan ketentuan yang lama (PMK-81/2009)
sampai dengan terbitnya PP sebagai petunjuk pelaksaan UU HPP. Wajib pajak dan
fiskus wajib memahami dan mengikuti perkembangan terkait hal ini, agar sengketa
pajak dapat dihindari.
Comments
Post a Comment